"Sebagian besar kasus WNI yang terancam hukuman mati berada di tiga negara, yaitu Malaysia 168 kasus, Arab Saudi 38 kasus, dan Republik Rakyat Tiongkok 15 kasus," demikian pernyataan Direktorat Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Selasa (25/2).
Menurut laporan tersebut delapan WNI juga menghadapi hukuman mati di negara-negara ASEAN selain Malaysia dan satu orang di Persatuan Emirat Arab. Di antara 229 WNI terancam hukuman mati, 131 orang di antaranya karena kasus narkoba di luar negeri. Kemudian sebanyak 77 orang terancam hukuman mati karena terlibat dalam kasus penghilangan nyawa.
"Sebanyak 131 WNI yang terancam hukuman mati karena kasus narkoba sebanyak 112 di Malaysia, 15 kasus di Tiongkok, dua kasus di Laos serta satu orang masing-masing di Singapura dan Vietnam," kata direktorat.
Kementerian Luar Negeri RI pada 1 Januari hingga 30 September 2014 telah menyelesaikan kasus hukum WNI di luar negeri sebanyak 9.290. Kasus hukum terbanyak yang ditangani Kemlu adalah terkait mengenai buruh migran Indonesia dan anak buah kapal.
Beberapa kasus WNI yang terancam hukuman mati sempat membuat pemerintah kalang kabut. Kalangan masyarakat juga bahkan sampai menggalang dana untuk mencegah agar salah satu BMI di Arab Saudi tidak dihukum mati.
Berikut sebagaian catatan dari WNI yang divonis hukuman mati di luar negeri :
Satinah butuh uang darah Rp 12 M Biar tak dipancung di Saudi
Pemerintah Indonesia terus melakukan upaya pembebasan Satinah yang mendapat vonis hukuman mati oleh pengadilan Buraidah, Arab Saudi. Upaya terakhir ialah uang untuk membayar Qishas telah terkumpul sebesar 4 juta riyal atau atau Rp 21 miliar.
Keluarga majikan telah memberikan maaf, namun mereka tetap menuntut uang darah (diyat) sebesar 10 juta riyal.
Perlu diketahui, Satinah binti Jumadi merupakan warga Dusun Mruten Wetan Rt 02/03, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Satinah merupakan salah seorang BMI yang mendapat ancaman hukuman mati oleh pengadilan Buraidah, Arab Saudi.
Kasus Satinah sendiri bermula ketika dirinya ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan terhadap majikan perempuannya, Nura, Al Gharib di wilayah Gaseem Arab Saudi dan melakukan pencurian uang sebesar 37.970 riyal pada bulan Juni 2007.
Ketika itu Satinah mengakui perbuatannya dan dipenjara di Kota Gaseem sejak 2009 dan hingga kasasi pada 2010 Satinah diganjar hukuman mati. Seharusnya Satinah menghadapi algojo pada bulan Agustus 2011, akan tetapi tenggat waktu diperpanjang hingga tiga kali yaitu Desember 2011, Desember 2012 dan Juni 2013.
Pihak keluarga korban menyatakan akan memberikan maaf asal mendapat imbalan diyat 10 juta riyal dalam jangka waktu satu tahun dua bulan terhitung sejak 23 Oktober 2011, yaitu 14 Desember 2012.
Setelah perundingan, pihak keluarga korban yang dibunuh Satinah telah memberikan batas waktu sampai dengan 14 Desember 2012 untuk diyat (uang darah) sebesar 10 juta riyal atau Rp 21 miliar.
Setelah melakukan lobi akhirnya disepakati uang diat menjadi 7 juta real dan dibayar oleh pemerintah. Satinah akhirnya bebas dari hukuman mati.
Hakim Malaysia bebaskan TKI Wilfrida sebab gila saat bunuh bos
Hakim Mahkamah Tinggi Kota Bharu, Malaysia, Dato Azmad Zaidi bin Ibrahim pada Senin (7/4/2014), memutuskan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Wilfrida Soik (WS) tidak bersalah atas tuntutan membunuh majikannya pada Desember 2010.
Pertimbangan Hakim, Wilfrida mengalami gangguan kejiwaan saat pembunuhan terjadi. Hakim memerintahkan agar dia dirawat di Rumah Sakit Jiwa sampai adanya pengampunan dari Sultan Kelantan. Demikian pernyataan pers KBRI Kuala Lumpur yang diterima Antara.
Di awal persidangan yang berlangsung sekitar 40 menit, hakim menyampaikan pertimbangan bahwa Tim Pengacara KBRI Kuala Lumpur telah berhasil membuktikan bahwa usia Wilfrida saat kejadian belum genap 18 tahun.
Menurut Undang-Undang Pidana Malaysia, ini berarti Wilfrida tidak bisa dijatuhi hukuman mati dan harus disidangkan berdasarkan Undang Anak-Anak.
Di sisi lain hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti-bukti di lapangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Puan Julia Ibrahim berhasil membuktikan Wilfrida yang membunuh majikannya dengan melakukan 42 tusukan. Dengan demikian, tuntutan JPU berdasarkan pasal 300 Undang-Undang Pidana Malaysia terbukti.
Selanjutnya hakim menyampaikan pertimbangan bukti-bukti yang disampaikan pengacara di persidangan, bahwa tindakan pembunuhan dilakukan Wilfrida karena ada gangguan kejiwaan sementara, yang disebabkan tekanan di luar batas kemampuan (acute and transient psychotic disorder).
Selain itu, faktor Intelligence Quotient (IQ) Wilfrida yang sangat rendah menyebabkan dia tidak sepenuhnya menyadari realitas di sekitar dan tidak paham atas tindakan yang membawa konsekuensi pelanggaran hukum.
Berdasarkan hal itu, hakim memutuskan Wilfrida tidak bersalah atas kondisi jiwa. Karena itu dia harus dikirim ke Rumah Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan sampai batas waktu yang ditentukan oleh Sultan dan mendapatkan pengampunan dari Sultan lalu dikembalikan ke keluarganya di Indonesia.
Atas putusan tersebut, JPU masih dapat mengajukan banding dalam waktu 14 hari setelah penjelasan tertulis atas kegiatan tersebut diterima oleh JPU. Apabila JPU tidak mengajukan banding maka sepanjang 2014, KBRI Kuala lumpur telah membebaskan 11 orang WNI dari hukuman mati.
Sri Wahyuningsih dibebaskan dari hukuman mati dengan rajam
Sri Wahyuningsih binti Mispan Eli, 38 tahun, TKI asal Donggala, Sulawesi Tengah yang telah menjalani hukuman selama lebih 9 tahun di Penjara Madinah, Arab Saudi, akhirnya bebas dari hukuman mati dengan rajam. Sri Wahyuningsih bersama anaknya kini sudah pulang di Donggala.
Sri WahyuningsihSri Wahyuningsih divonis hukuman mati rajam oleh Mahkamah Umum Madinah pada tanggal 28 November 2005 karena terbukti dan mengakui telah melakukan perbuatan zina dengan sesama pekerja asing, warga negara Bangladesh, hingga hamil dan melahirkan seorang anak perempuan bernama Aisyah, saat ini berusia 9 tahun.
Pada sidang Peninjauan Kembali 15 April tahun lalu, Majelis Hakim memutuskan untuk membatalkan vonis hukuman rajam atas Sri Wahyuningsih dan menggantinya dengan hukuman penjara selama sembilan tahun dan cambukan sebanyak 500 kali dalam 10 tahapan.
Meskipun sudah dinyatakan bebas dari hukuman mati dan telah menjalani seluruh hukuman, Sri Wahyuningsih harus menyelesaikan beberapa hal yang bersifat teknis administratif dan juga menunggu pembayaran sisa gaji yang saat ini telah dibayarkan oleh pihak majikan.
Selama periode Juli 2011 sampai dengan Januari 2014, kasus hukuman mati WNI di luar negeri yang ditangani oleh Pemerintah RI berjumlah 416 kasus. Dari jumlah tersebut, 167 kasus berhasil dibebaskan dari hukuman mati dan hanya 1 kasus yang berakhir dengan eksekusi yaitu kasus Ruyati binti Satubi yang dieksekusi di Arab Saudi pada tahun 2011 karena divonis hukuman mati mutlak (had gillah) tanpa peluang pemaafan karena melakukan pembunuhan terencana.
Sementara itu, 248 kasus lainnya masih dalam penanganan intensif oleh Pemerintah, baik melalui upaya-upaya hukum maupun upaya diplomatik. Khusus untuk wilayah Arab Saudi, WNI yang terancam hukuman mati pada periode yang sama berjumlah 87 kasus dan telah berhasil dibebaskan dari hukuman mati sebanyak 46 kasus (52,87%).
Dua WNI divonis hukum gantung di Malaysia
Dua Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu, divonis hukuman gantung di Malaysia. Keduanya dihukum terkait kasus pembunuhan terhadap Kharti Raja (warga Malaysia), pada 3 Desember 2010 lalu.
Menurut data Kemenakertrans, Frans dan Dharry ke Malaysia menyalahi aturan. Keduanya masuk menggunakan visa sebagai pelancong, padahal bekerja menjaga toko di Malaysia.
Warga Negara Indonesia bernama Ajeng Yulia (21 tahun), dihukum mati Pengadilan Tinggi Malaysia akhir pekan lalu. Dia tertangkap menyelundupkan tiga kilogram sabu di Bandara Sultan Ahmad Shah, Kuantan, Pahang, setelah menjalani penerbangan rute New Delhi-Pahang pada 10 November 2013.
Situs the Malay Mail Online, Senin (2/3), melansir Yulia yang berasal dari DKI Jakarta itu terlihat tenang saat divonis Jumat lalu. Dengan vonis itu, belum diketahui apakah Yulia masih punya kesempatan banding sebelum maju ke tiang gantungan.
Dilansir Bernama, Komisioner Komisi Yudisial Malaysia Datuk Ab Karim Ab Rahman mengatakan pembelaan Ajeng tak dapat dibuktikan di pengadilan.
"Tertuduh juga tidak memanggil saksi lain untuk menyokong pembelaannya. Malah berkukuh datang ke Malaysia untuk tujuan melancong," kata Rahman.
Selama persidangan nyaris setahun terakhir, Yulia mengklaim hanya diperalat oleh kenalannya bernama Stanley, Warga Negara Nigeria. Mereka berkenalan melalui jejaring sosial dua tahun lalu. Yulia lalu kerap berhubungan dengan Stanley untuk belajar bahasa Inggris.
Pria itu menawarkan paket liburan ke India buat WNI yang bekerja sebagai kasir tersebut. Yulia juga ditawari untuk pelesir ke Malaysia sebelum pulang ke Tanah Air.
Yulia mengaku saat hendak berangkat ke Negeri Jiran, Stanley menyerahkan tas bagasi yang lebih besar. Di dalam tas itulah, termuat narkotika sabu-sabu.
"Bagaimana mungkin seorang kasir bisa bepergian ke New Delhi, mengenal orang yang bernama Stanley ini, belajar bahasa Inggris, kemudian terbang ke Malaysia," tuding hakim.
Jadwal eksekusi tidak disebutkan oleh majelis hakim. Seandainya tidak berbohong, maka kejadian yang menimpa Yulia adalah rekrutmen kurir narkoba yang sudah sering menimpa WNI.
Tuti Tursilawati Juga Menunggu Uang Diyat
Sebagaimana diketahui, kasus TKI Tuti disidangkan kembali. Artinya, kasusnya dibuka kembali walaupun telah ada putusan akhir terhadap Tuti, yang dinyatakan bersalah dan dihukum Qishas (pancung).
Dia menuturkan, dalam sidang ulang tersebut, hakim menanyakan motif dari pembunuhan yang dilakukan Tuti. Tuti menjawab bahwa ia melakukannya karena hendak dilecehkan secara seksual oleh korban yang bernama Suud Mulhaq Al-Qtaibi.
Selain itu, Tuti menjelaskan, tongkat yang dipakai untuk memukul korban sudah ada di tempat kejadian sebelumnya. Sarung tangan yang dipakai Tuti bukan untuk menghilangkan jejak, namun karena udara pada saat itu sangat dingin. Adapun pakaian laki-laki yang ada di tempat tersebut bukan untuk menyamarkan dirinya, namun pakaian tersebut hendak dicucinya.
Tuti dan Ibunya adalah BMI yang ditempatkan oleh PT. ARUNDA BAYU ke Arab Saudi dengan berbeda majikan. Tuti mendapatkan majikan yang bernama Naif Al – Oteibi yang beralamat di Al – Thaif dengan tugas merawat orang tua jompo.
Saat Tuti lari dari rumah majikannya dan menumpang mobil di tengah jalan dia malah diperkosa secara sadis oleh 9 laki-laki Arab Saudi. Pemerkosanya hanya diberikan vonis ringan oleh pengadilan.
Selama bekerja Tuti belum sempat mengirimkan uang untuk orangua dan anaknya semata wayang yang masih membutuhkan kasih sayang.
0 komentar:
Post a Comment