Perlindungan BMI? |
Perlindungan hak hak perburuhan dari seorang buruh Migran atau TKI tidak bisa dilepaskan dari adanya kepentingan pemerintah dari sisi asset perekonomian negara yang diakomodir via beberapa perundang-undangan hubungan perburuhan. Seharusnya aturan tentang buruh Migran mempunyai kekhususan tertentu yang bersifat "Lek Spesialis ".
Berbagai permasalahan Buruh secara umum dan khususnya Buruh Migran, seolah tidak pernah berhenti terjadi, baik ditanah air Indonesia maupun di mana buruh TKI atau Migran Care tersebut mencari nafkah. Selain banyaknya kasus pidana dari yang terkecil seperti penganiayaan ringan oleh majikan sampai terjadinya berbagai kasus pembunuhan baik oleh majikan maupun tersangka buruh Migran diberbagai negara kerap terjadi. Contoh kasus Nuraeni, seorang mantan buruh Migran negara Kuwait asal Sumbawa, NTB, mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari mantan majikannya, tidak menerima hak gajinya selama 10 tahun dan diikat kaki selama 8 bulan oleh majikannya seorang Polisi negara Kuwait. Akibat penyiksaan yang diterima korban, Nurani, berdampak kepada fsikologi dan cacat seumur hidup, dimana korban Nuraeni harus selalu berada dikursi roda dan suramnya masa depan korban. Atas upaya mediasi dan reaksional aksi dari organisasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dibawah kepemimpinan Nisma Abdulah dan sekjen Ramses Merdeka, korban Nuraeni akhirnya bisa diberikan sedikit dari haknya oleh pemerintah via kemenaker untuk mendapatkan perawatan dan pemulihan kesehatan di rumah sakit POLRI yang selama ini ditanggung atas biaya dan upaya korban serta bantuan seadanya dari organ SBMI dan kawan-kawan aktivis lainnya.
Adanya kelemahan dan pelemahan perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap buruh Migran dalam perundang-undangan Indonesia perlu mendapatkan atensi para pemerhati dan pakar hukum, aktivis perburuhan, maupun aktivis HAM dan kemanusiaan, karena kecenderungan yang ada selama ini, berbagai kasus perburuhan khususnya yang menyangkut buruh Migran Indonesia didalam maupun diluar negeri selalu merugikan kaum buruh Migran selaku korban dan sedikit sekali pemberatan hukum bisa diterapkan kepada Majikan selaku pengguna jasa buruh karena lebih sering sang majikan beranggapan bisa memperlakukan kaum buruh migran dengan semena-mena dengan alasan telah membayar sejumlah dana atau uang kepada penyalur jasa buruh migran tersebut.
Selain kasus Nuraeni yang menjadi saksi korban "hidup namun cacad seumur hidup' akibat perlakuan semena-mena oknum sang Majikan, masih banyak 'PR', Nuraeni-Nuraeni lainnya yang perlu mendapatkan prioritas penanganan dari sisi perlindungan HAM dan Hukum karena menggantungkan nasibnya terganjal oleh permasalahan hukum. Sejauh mana perundang-undangan kita, di negara Indonesia ini, bisa mengakomodir rintihan-rintihan kaum buruh khususnya buruh migran sehingga tidak selalu ditindas dan disalahkan....?
Ditulis oleh Hendra, SBMI
0 komentar:
Post a Comment