Aksi SBMI Melawan Sistem Kapitalisme, Photo:Koran Migran |
Hong
Kong adalah rumah bagi hampir 300.000 PRT
khususnya yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara, terutama
Indonesia dan Filipina serta dari Asia Pasifik. Kritik ini terus
digencarkan terkait perlakuan buruk yang terus menimpa buruh migran
tersebut.
Tahun 2013, organisasi hak asasi Amnesty International sudah mengecam
"kondisi perbudakan" yang dialami ribuan Buruh Migran Perempuan asal
Indonesia di Hongkong.
Laporan Amnesty International yang dirilis November 2013 berjudul: ”Dieksploitasi demi Keuntungan, Kegagalan Pemerintah“, muncul beberapa pekan setelah pasangan Hong Kong dipenjara karena menyiksa Pekerja Rumah Tangga (PRT) mereka yang berasal dari Indonesia, dengan menyeterika dan memukulinya dengan rantai sepeda.
Amnesty menemukan bahwa orang-orang Indonesia itu dieksploitasi dengan direkrut dan ditempatkan oleh para agen yang menyita dokumen dan memberlakukan potongan yang besar atas gaji yang mereka dapatkan dari majikan. Padahal sebelumnya para PRT asal Indonesia itu diimingi janji palsu berupa gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik.
Proses itu dianggap sama dengan praktek perdagangan manusia dan kerja paksa, kata Amnesty, karena para perempuan itu tidak bisa melarikan diri akibat terlilit hutang dan dokumen mereka disita.
Eksploitasi Berlapis Pemodal Terhadap BMI
Pada saat para Buruh Migran Perempuan itu tertipu untuk mendaftar bekerja di Hong Kong, mereka terjebak dalam sebuah lingkaran eksploitasi lewat berbagai modus penghisapan sebagai kejahatan perbudakan modern, demikian pernyataan salah seorang peneliti dari Amnesty International seperti yang dirilis dalam AP.
Praktek ini ternyata terus meluas dan masif dilakukan para mafia pasar kerja di Hong Kong, di mana sedikitnya 15.000 orang BMI bekerja sebagai PRT.
Laporan Amnesty International yang dirilis November 2013 berjudul: ”Dieksploitasi demi Keuntungan, Kegagalan Pemerintah“, muncul beberapa pekan setelah pasangan Hong Kong dipenjara karena menyiksa Pekerja Rumah Tangga (PRT) mereka yang berasal dari Indonesia, dengan menyeterika dan memukulinya dengan rantai sepeda.
Amnesty menemukan bahwa orang-orang Indonesia itu dieksploitasi dengan direkrut dan ditempatkan oleh para agen yang menyita dokumen dan memberlakukan potongan yang besar atas gaji yang mereka dapatkan dari majikan. Padahal sebelumnya para PRT asal Indonesia itu diimingi janji palsu berupa gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik.
Proses itu dianggap sama dengan praktek perdagangan manusia dan kerja paksa, kata Amnesty, karena para perempuan itu tidak bisa melarikan diri akibat terlilit hutang dan dokumen mereka disita.
Eksploitasi Berlapis Pemodal Terhadap BMI
Pada saat para Buruh Migran Perempuan itu tertipu untuk mendaftar bekerja di Hong Kong, mereka terjebak dalam sebuah lingkaran eksploitasi lewat berbagai modus penghisapan sebagai kejahatan perbudakan modern, demikian pernyataan salah seorang peneliti dari Amnesty International seperti yang dirilis dalam AP.
Praktek ini ternyata terus meluas dan masif dilakukan para mafia pasar kerja di Hong Kong, di mana sedikitnya 15.000 orang BMI bekerja sebagai PRT.
Respon terhadap kritik Amnesti terhadap pemerintahan borjuis baik Indonesia maupun Hong Kong ternyata tidak digubris. Bahkan kedua negara ini melakukan pembiaran kejahatan HAM ini dan tidak mencegah praktek perbudakan.
Anggota parlemen dari Hong Kong, Fernando Cheung mengatakan dirinya merasa malu dengan apa yang terjadi terhadap Buruh Migran yang ada di negerinya.
“Pemerintah harus meningkatkan upaya menegakkan aturan hukum yang telah dilanggar,“ katanya.
Kejahatan Pelanggaran HAM Berat
Catatan Amnesty juga menegaskan bahwa dua pertiga dari BMI yang mereka wawancarai, mengalami siksaan fisik dan non fisik atau psikis.
Dalam laporan itu tertulis, “Sang istri secara fisik menyiksa saya secara rutin. Suatu ketika ia memerintahkan dua anjingnya untuk menggigit saya,“ komentar BMI asal Jakarta berumur 26 tahun.
“Saya mengalami sekitar 10 gigitan di badan yang merobek kulit saya dan membuat saya berdarah. Ia (majikan perempuan) merekamnya dengan telepon genggam, yang sering ia putar ulang untuk ditertawakan.
“Ketika salah satu anjing itu muntah, ia mendorong muka saya ke muntahan itu, dan memaksa saya untuk memakannya. Tapi saya menolak.
“Ketika saya tanya kenapa terus menyiksa saya, ia mengatakan bahwa itu karena dia bosan. Jadi inilah cara dia menghabiskan waktu.“
BMI lainnya menceritakan bagaimana majikan laki-lakinya “membanting dan memukul” dia sampai “hitam dan biru-biru di sekujur tubuh”.
Sepertiga dari mereka yang diwawancarai tidak diperbolehkan meninggalkan rumah majikan. Mereka hanya bisa bicara ketika Amnesti mendatangi mereka saat para BMI itu meninggalkan pekerjaannya, demikian bagian lain dari laporan tersebut.
Laporan ini menyoroti kejahatan yang dialami BMI di Hong Kong yakni kekerasan fisik dan seksual, diberi makan sedikit bahkan ada yang tidak diberi makan berhari-hari, jam kerja yang berlebihan yakni 17 jam sehari adalah jam kerja rata-rata yang berlaku bagi BMI serta digaji rendah dan berbeda dengan negara serta buruh lokal Hong Kong.
Para agen penyalur yang mengantungi ijin pemerintah baik di Indonesia maupun di Hong Kong secara rutin menipu BMI berkaitan dengan upah atau gaji dan biaya pungutan berlebih, menyita dokumen paspor dan identitas pribadi lainnya serta berbagai barang pribadi lainnya sebagai jaminan.
SBMI bersama Aliansi Migran Progresif (AMP) yang merupakan aliansi puluhan organisasi BMI di Hong Kong dan Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) mendesak pemerintah Indonesia dan Hong Kong untuk memberikan kepastian jaminan perlindungan sistem kerja bagi BMI di semua negara penempatan.
Pungutan berlebih yang sangat mahal oleh agensi Hong Kong bahkan didiamkan oleh pemerintah Hong Kong sehingga BMI harus menanggung biaya penempatan yang sangat besar lewat pemotongan upah bulanan. Hal ini sebenarnya bertentangan dan tidak diperbolehkan secara hukum di Hong Kong maupun di Indoesia. ”, kata Amnesty International.
Hingga hari ini bahkan setiap BMI terus terancam bisa menyelesaikan masa kerjanya karena peraturan di Hong Kong membebaskan majikan melakukan PHK atau interminit tanpa ada prosedur yang ketat. Nur Kholifatun adalah salah satu BMI asal Kendal Jawa Tengah yang dipulangkan dalam keadaan lumpuh akibat terjatuh saat menunggu kontrak kerja baru di Macao. Saat ini dia tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Jokowi JK dan dalam keadaan kritis di rumah sakit Umum Kendal.
0 komentar:
Post a Comment