Buruh migran kerap menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Photo: Istimewa. |
KORANMIGRAN - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sumbawa, menerima pengaduan dari pihak keluarga Buruh Migran Indonesia (BMI) dan menilai adanya tindak kejahatan atau praktek Human Trafficking (Perdagangan Manusia) ke kawasan Timur Tengah yaitu Abudabi. Indonesia saat ini tengah memberlakukan moratorium (penutupan sementara) pengiriman Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke kawasan tersebut.
SBMI Sumbawa menduga kejahatan Perdagangan Manusia ini masih terus terjadi secara masif karena tingginya laporan dari keluarga BMI saat direkrut oleh sponsor. Janjinya BMI akan dipekerjakan sebagai PRT, tetapi ditemukan fakta bahkan pihak Disnaker terkesan melakukan pembiaran karena tidak melakukan seleksi secara ketat. Dari laporan ke SBMI Sumbawa ditemukan bahwa BMI disuruh mengaku akan bekerja disektor formal.
"Pada saat direkrut sponsor, Samsi BMI asal Sumbawa (red: nama samaran), akan dikirim ke Abudabi (Timur Tengah) sebagai PRT. Kemudian pada
saat seleksi di Disnaker kabupaten Sumbawa, Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) tersebut kemungkinan mengunakan ijin TKI formal (akan dipekerjakan sebagai cleaning servis/perusahaan lain)", ungkap salah satu keluarga BMI yang berasal dari desa kepada SBMI Sumbawa.
Lebih lanjut pihak keluarga BMI tersebut menjelaskan, "Sebelum seleksi di Disnaker, sponsor mengatakan kalau nanti di Disnaker ditanya, maka kami harus menjawab akan bekerja sebagai Klining Serpis (red: Cleaning service) di Rumah Sakit".
Faktanya, SBMI Sumbawa setelah berkoordinasi dengan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) SBMI di Jakarta menemukan penampungan dari PPTKIS yang melakukan modus pelanggaran prosedur penempatan dengan menyodorkan
perjanjian kerja (PK) yang dipaksakan harus ditanda tangani BMI tanpa dibaca dan dimintai tanggapannya.
Bahkan PK tersebut memasukkan kalimat "Siap ditempatkan di nagara manapun". PK tersebut juga tidak diberikan kopian atau tindasannya kepada BMI atau keluarganya.
Juga ditemui kejahatan pengalihan tujuan negara penempatan dari penawaran awal. Ada juga Buruh Migran yang berani mempertanyakan soal peralihan Negara tujuan, tapi pihak PPTKIS tidak memberikan alasan malah memarahi dan mengancam BMI tersebut tidak akan diberangkatkan. Soal penutupan sementara penempatan di Timur Tengah ini disimpulkan, diketahui oleh buruh migran setelah mereka berada di penampungan PPTKIS.
Masalah lain yang ditemukan berkaitan dengan penempatan, pihak PPTKIS tidak pernah bisa memastikan soal kepastian keberangkatan. Hal inilah yang membuat buruh migran menjadi bingung, ragu-ragu untuk meneruskan apakah mau berangkat atau tidak. Akhirnya banyak buruh migran pasrah menunggu nasib di penampungan.
Pihak PPTKIS hanya mampu memberikan janji-janji kepada buruh migran untuk bersabar menunggu keberangkatan. Hal inilah yang sering diceritakan keluarga buruh migran saat melaporkan masalah yang dihadapi oleh anaknya yang berada di penampungan.
"Bersabar dulu dalam beberapa minggu ini pasti
di berangkatkan kok, paling cepat satu minggu ini ada dua smpai empat orang yang diberangkatkan", ungkap keluarga buruh migran yang mengadukan masalahnya.
SBMI menduga banyak buruh migran asal Sumbawa yang diberangkatkan dengan paspor pelancong bukan paspor pekerja. Ada keluarga yang mengetahui bahwa soal ini adalah kesalahan prosedural dan berani mempertanyakan ulang ke sponsor di kampung.
Si Calo kemudian menjawab dengan kalimat, "Memang benar untuk penempatan ke negara Timur Tengah ditutup
bagi TKI Nonformal, namun hanya bagi PT yang mengirim secara ilegal
saja dan hanya ada dua PT yang memiliki ijin resmi untuk perekrutan dan
penempatan khusus Timur Tengah, yaitu termasuk PT kami."
Jika keluarga buruh migran terus mempertanyakan soal kepastian keberangkatan anaknya maka sang calo biasanya mengancam.
"Jika kamu mau mengundurkan diri atau minta pulang
maka kamu wajib mengganti biaya kerugian sebesar Rp.8.000.000/per orang".
Budi Kusuma, pengurus SBMI Sumbawa menekankan agar pemerintah menyoroti pelanggaran proses perekrutan dan penempatan buruh migran di daerah. Selanjutnya Budi menggarisbawahi lima hal.
Petama, semua calo tidak
menyampaikan informasi yang benar kepada buruh migran dan keluarganya soal prosedural penempatan yang benar dan aman.
Kedua, calo banyak menjebak buruh migran memberikan keterangan palsu saat wawancara di kantor Disnaker Sumbawa.
Ketiga, Disnaker Sumbawa bertindak ceroboh karena proses wawancara yang sekedarnya dan tidak memeriksa kelengkapan dokumen serta perijinan yang dimiliki PPTKIS di Sumbawa.
Keempat, ditemukan banyak PPTKIS di Jakarta melakukan pelanggaran prosedural penempatan negara tujuan karena merekrut bukan berdasarkan pesanan kerja (Job Order).
Kelima, banyak PPTKIS yang tidak memberikan informasi yang sebenarnya kepada buruh migran. Baik itu mengenai jenis pekerjaan, jam kerja, hari libur, besar upah, jaminan sosial dan lain sebagainya. Bahkan tidak pernah ada PPTKIS yang memberikan informasi mengenai hak-hak buruh migran saat bekerja di luar negeri.
0 komentar:
Post a Comment