Stop penyiksaan terhadap perempuan. Photo: Istimewa. |
KORANMIGRAN - Hari ini, banyak perempuan yang meninggalkan negeri asalnya untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Hal ini menunjukkan perubahan pola migrasi yang para aktivis perempuan menyebutnya sebagai femininisasi migrasi, yang telah dialami Indonesia selama dekade terakhir ini. Ini sudah menjadi rahasia umum atau hal yang tidak bisa dipungkiri. Mayoritas perempuan Indonesia manjadi pekerja di Hong Kong, Malaysia, Singapura, Saudi Arabia dan Persatuan Emirat Arab (UAE). Di negara-negara tersebut, mereka umumnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Menjadi pekerja domestik, ini karena masih adanya pembagian wilayah kerja seksis.
Di banyak negara, termasuk di Indonesia, menjadi buruh migran merupakan salah satu pilihan utama untuk bertahan hidup, terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan. Menjadi buruh migran artinya menjadi penyangga ketika perubahan cuaca mengganggu produksi pertanian atau terjadi krisis ekonomi. Keluarga di desa bertahan hidup dengan mengandalkan kiriman uang dari sanak keluarga yang bekerja di luar negeri. Memang bisa dilihat, bahwa buruh migran didominasi oleh mereka yang berasal dari pedesaan atau daerah terbelakang.
Maraknya buruh migran yang berlatar belakang dari masyarakat pedesaan adalah adanya kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan pendidikan formal. Kita bisa cek, mayoritas pekerja rumah tangga di luar negeri mereka yang hanya lulusan SD, SMP, SMA paling tinggi. Hal inilah yang merupakan faktor penyebab semakin meningkatnya jumlah perempuan Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri, ditambah lagi dengan adanya peluang untuk mendapatkan upah yang relatif tinggi dibandingkan di desa-desa mereka atau bekerja di dalam negeri.
Kita tidak bisa memungkiri, selama patriarkhi masih melenggang bebas maka perempuan masih menjadi makhluk nomer dua yang sulit mendapat akses pendidikan. Apalagi perempuan yang menyandang status kelas perempuan miskin atau dari keluarga miskin. Yang laki-laki saja belum tentu bisa mendapatkan pendidikan tinggi dan layak apalagi yang perempuan. Di masyarakat pedesaan, dimana feodalisme dan kemiskinan masih kukuh perempuan bak bunga mawar yang ketika mekar harus dipetik. Menanti ada laki-laki yang meminang lalu menjadi pekerja domestik dan merawat anak adalah hal yang wajar dilakukan masyarakat desa miskin terbelakang. Dan ketika laki-laki selaku kepala rumah tangga tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka larilah perempuan bekerja ke luar negeri. Karena hanya lulusan SD diibaratkan, maka perempuan hanya bisa sebagai pekerja rumah tangga.
Kondisi ini diakibatkan adanya dominasi imperialisme terhadap negeri berkembang seperti Indonesia. Di pedesaan yang corak produksinya mayoritas adalah bertani, akibat dominasi imperialisme membuat pertanian di negeri berkembang mengalami inflasi dan kalah bersaing dengan kepemilikan pertanian yang lebih maju teknologinya yang dikuasai kapitalis di kota. Dampaknya, berakibat pada gelombang migrasi dari pedesaan ke perkotaan. Ahirnya, banyak yang menjadi buruh industri di kota sebagai sentral industri. Perempuan pun tak luput menjadi buruh industri. Kebanyakan buruh industri perempuan ditempatkan di industri garmen. Namun, menjadi buruh industri di dalam negeri mempunyai kesempatan kerja dan upah yang terbatas. Sehingga, menjadi buruh migran menjadi pilihan utama juga.
Namun apakah menjadi buruh migran perempuan artinya sudah bebas dari penindasan terhadap perempuan? Sudah terbebas dari kemiskinan? Apakah keluarga yang ditinggalkan bisa menjadi orang kaya seperti Abu Rizal Bakrie? Apakah buruh migran perempuan bisa seperti Puan Maharani ?
Menjadi buruh migran sama beratnya perempuan menjadi buruh industri di dalam negeri. Area-area pelecehan dan eksploitasi atas buruh migran perempuan masih dihadapi selama proses migrasi. Hal tersebut termasuk juga eksploitasi ekonomi, pelecehan sosial dan psikologis, kekerasan fisik dan seksual serta kekerasan yang disebabkan oleh pelaksanaan sistem hukum.
Dimana hukum yang melindungi buruh migran perempuan? Karena di Indonesia, negeri yang didominasi imperialisme dan negeri reformis, hukum yang menyediakan hak-hak perempuan hanyalah formalitas. Maka, tidak heran ketika banyak buruh migran yang dipulangkan dengan dibungkus peti jenazah adalah perempuan. Majikan melakukan penganiayaan, pemerkosaan, tidak adanya keselamatan di tempat kerja, dll. Menjadi polemik bagi buruh migran perempuan.
Kita semua tahu bahwa saat ini dalam tatanan ekonomi imperialisme sistem masyarakat yang hidup adalah masyarakat berkelas. Masyarakat kelas menengah atas biasanya dia mapan secara ekonomi, pendidikan, dan politik. Sementara masyarakat kelas bawah berkonotasi dengan masyarakat atas. Termasuk dalam negaran, masyarakat di negara maju dan negara berkembang pun berbeda. Indonesia merupakan negara berkembang yang banyak mengirimkan buruh migran ke negara maju.
Sehingga, dalam masyakarat kelas ini kelas yang lebih merasakan kesejahteraan beranggapan menguasai segalanya. Termasuk menguasai buruh migran atau pekerjanya. Maka, tidak heran ketika ada pandangan para buruh migran yang berasal dari negara berkembang adalah masyarakat kelas bawah yang bisa diperlakukan secara semena-mena. Mereka merasa sudah membayar dan mengeluarkan biaya untuk para buruh migran dengan mahal. Ya, Rp. 8.000.000,- per bulan, buruh migran dan masyarakat miskin akan menganggap uang itu sudah besar dan cukup. Oleh karenanya, mereka kelas atas yang memekerjakan buruh migran merasa berhak melakukan apa saja terhadap buruh yang telah mereka gaji.
Sindrom kelas superior ini juga menyebabkan masyarakat Negara maju tidak merasa bersalah, ketika melakukan eksploitasi terhadap buruh migran. Sebaliknya, mereka tetap merasa menjadi pahlawan, karena telah menolong para buruh dengan memberikan pekerjaan dan gaji yang dianggap layak. Sementara, hukum di negara berkembang pun tidak mampu melindungan warga negaranya sendiri. Jadi, wajar saja buruh migran dianiaya oleh pemilik modalnya.
Diatas sudah dijelaskan mayoritas buruh migran adalah masyarakat pedesaan yang berpendidikan rendah. Rendahnya pendidikan ini menyebabkan mereka tidak memahami berbagai macam peraturan dan produk hukum yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak mereka. Kondisi seperti ini, banyak dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang kuat dan mengerti hukum, mulai dari agen calo, penyalur, sampai pengguna para buruh migrant di negara tujuan.
Selanjutnya, hukum tidak berjalan di negeri reformis ini. Hal ini bisa kita lihat dari konsistensi pemerintah dalam menjalankan dan menerapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak buruh migran, misalnya hak untuk memperoleh perlindungan asuransi, jaminan keselamatan dari tindak kekerasan dan sebagainya. Banyak calo dan pengerah tenaga kerja yang melakukan pelanggaran, tetapi belum ada tindakan dan sangsi yang berarti.
Pemerintah juga hampir tidak bergerak untuk menangani berbagai macam tindak kekerasan dan penipuan yang dilakukan oleh para majikan terhadap buruh migran jika tidak ada massa yang menggerakan dengan mendatangi kantor pemerintahan berpondong-pondong. Sejak pemberangkatan sampai mereka tiba di bandara, banyak korban kekerasan yang tidak mendapat penanganan serius dari aparat (KBRI), sampai pada terjadinya bunuh diri para buruh migran akibat frustasi. Semua ini menunjukkan lemahnya perhatian dan perlindungan pemerintah terhadap buruh migran.
Sistem dan infrastruktur sosial juga tidak memihak kepada kaum buruh. Remiten kaum buruh migran sangat besar, dan hal inilah yang diasumsikan buruh migran sebagai penggerak ekonomi pedesaan dan pahlawan devisa. Namun secara faktual kita bisa melihat, remiten yang cukup besar itu, ternyata tidak memberikan kemajuan ekonomi apapun kepada kaum buruh migran, karena berapapun besar remitansi yang ada, akan terserap kembali dalam pusaran arus kapitalisme melalui mekanisme pasar yang menguntungkan elit ekonomi. Uang yang mengalir ke desa melalui para buruh migrant itu, pada ujungnya kembali ke kota, ke tangan pemilik modal, dan para buruh migran kembali menikmati kemiskinan setelah tenaganya diperas.
Pembebasan yang Harus Dilakukan
Ketimpangan kelas, hukum yang tidak berjalan, pemerintah yang abai, pendidikan yang kurang, infrastruktur yang tidak memihak kaum buruh migran, dan lainnya. Masalah-masalah tersebut adalah karena dominasi imperialisme atau sistem ekonomi kapitalisme yang digunakan di Indonesia dan adanya relasi kelas. Buruh Migran meskipun tidak semua perempuan tapi hari ini didominasi perempuan. Perjuangan buruh migran juga perjuangan pembebasan perempuan.
Apapun yang dilakukan perempuan, hari ini berhadapan dengan kekuatan kontrol imperialisme dan atau masyarakat kelas. Maka, kebutuhan mendesak adalah menghancurkan dominasi ini. Artinya perempuan mempunyai peran menghancurkan dominasi imperialisme dan masyarakat kelas bersama masyarakat tertindas lainnya. Jelas bukan, sekerat roti masih menjadi masalah utama perempuan.
Buruh migran perempuan tidak bisa mnegharapkan menteri Puan Maharani, menteri Khofifah, Menteri Susi, dan menteri-menteri perempuan lainnya membebaskan buruh migran perempuan. Tidak bisa juga berharap kepada NGO yang mengatasnamakan lembaga buruh migran dan lembaga pembebasan perempuan. Nyatanya, hari ini begitu melimpah NGO atas nama buruh migran dan pembebasan perempuan, tapi buruh migran perempuan masih banyak yang mengalami penindasan.
Rita Krisdianti belum mampu dibebaskan. Bahkan sebelum adanya gerakan massa yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh, kasus Rita tersimpan rapi di dalam catatan BNPTKI.Namun, gerakan massa membuat kasus Rita baru muncul ke permukaan dan banyak mendatangkan solidaritas.
Model advokasi-advokasi tanpa adanya gerakan massa nyata menuntut perjuangan pembebasan buruh migran perempuan tidak akan mampu membebaskan perempuan. Yang ada, hanya tambal sulam kasus, sebatas ada kasus ditangani menang lalu selesai perjuangan. Namun, ke depan masih akan terjadi lagi kasus-kasus terhadap buruh migran perempuan. Basic materialnyalah yang harus dicari. Yakni menghapus dominasi imperialisme dan masyarakat kelas.
Bagaimana perempuan menghancurkan dominasi imperialisme dan sistem kelas? Kita bisa belajar dari Nikaragua dan El Salvador. Perempuan bergabung dalam gerakan pembebasan nasional termasuk buruh migran perempuan. Perempuan menjadi pejuang, pemimpin, organiser, dan pemikir politik. Jangan hanya karena buruh migran perempuan, lantas merasa inferior untuk berorganisasi. Justru, kita dari kelas tertindaslah harus memimpin perjuangan.
Keikutsertaan perempuan dalam gerakan pembebasan nasional akan mampu mentranformasikan kesadaran kaum laki-laki tentang kemampuan dan peran perempuan. laki-laki akan menjadi lebih peka terhadap penindasan perempuan. Maka, perempuan menjadi sekutu perjuangan akan menjadi kesadaran kebutuhan laki-laki dan kebutuhan menghancurkan dominasi imperialisme dan masyarakat berkelas.
Perempuan turut serta dalam gerakan pembebasan nasional bersama kaum tertindas lainnya sudah bisa dilihat contoh nyataya di Vietnam, Kuba, dan Nikaragua. Negara-negara tersebut menjadi contoh hidup apa yang bisa dicapai ketika kekayaan sebuah negara diperuntukan bagi kebutuhan mayoritas, diputuskan oleh kontrol demokratik langsung mayoritas dan konsekuensi dari hal tersebut adalah berati apa juga yang didapatkan bagi kaum perempuan. Negara tersebut menunjukan kemungkinan nyata tentang perubahan dominasi imperialisme dan mayarakat kelas menjadi masyarakat dominasi sosialisme adalah bukan utopia abstrak.
Buruh migran perempuan maupun buruh migran secara keseluruhan tidak bisa sendiri dan menyandarkan perjuangan pada NGO atau organisasi nirlaba. Tidak bisa terus menerus hanya berjuang dengan advokasi tanpa adanya persatuan dengan gerakan masssa yang berspektif menghancurkan dominasi imperialisme dan masyarakat kelas. Kemenangan buruh migran juga merupakan salah satu kemenangan perempuan dan kemenangan kelas buruh atau pekerja, juga kemenangan kelas bawah yang miskin.
Ditulis oleh: Fullah Jumaynah. Aktifis Mahasiswa Pembebasan, Kolektif Yogyakarta.
Bmi harus bangkit lawan majikan yang keterlaluan melebihi peraturan yang berlaku dinegara setempat
ReplyDeleteBmi harus bangkit lawan majikan yang keterlaluan melebihi peraturan yang berlaku dinegara setempat
ReplyDeleteKISAH SUKSES SAYA JADI TKI – Ke Jepang, berkat bantuan Bpk DRS. AGUSDIN SUBIANTORO yang bekerja di BNP2TKI jakarta beliau selaku deputi Bidan penempatan BNP2TKI pusat no hp pribadi beliau 0823-5240-6469
ReplyDeletekisah cerita saya awal jadi TKI – Ke Jepang, berkat bantuan Bpk DRS AGUSDIN SUBIANTORO yang bekerja di BNP2TKI jakarta beliau selaku DEPUTI BIDANG PENEMPATAN BNP2TKI pusat no hp pribadi beliau 0823-5240-6469
kisah cerita saya awal jadi TKI
Disini saya akan bercerita kisah sukses yang menjadi kenyataan mimpi Beliau.
KEGIATAN SEBELUM MENGIKUTI PROGRAM.
Seperti para TKI dan TKW umumnya dan dengan kondisi ekonomi Keluarga saya yang pas-pasan saya ikut merasa prihatin dan menghendaki adanya perubahan ekonomi dalam keluarga saya. Saya lahir di salah satu kampung terpencil di kota surabaya jawa timur, dimana struktur tanah tempat kelahiran dia adalah pegunungan dengan mata pencaharian masyarakat sekitar petani dan beternak. Pengorbanan keluarga yang selama mendidik, membina dan membiayai hidup saya selama ini tak cukup hanya sekedar saya mengikuti jejak orang tua saya menjadi petani, saya harus membuktikan kepada keluarga untuk menjadi yang terbaik, tetapi dimana dan bagaimana? Sisi lain saya tau saya hanya lulusan SLTA sedangkan lowongan pekerjaan hanya diperuntukan bagi lulusan Diploma dan Strata 1.
Pada pertengahan tahun 2016 saya bertemu dengan seorang teman lama di Jalan Raya waru sidoarjo. Dia memperkenalkan saya dengan salah satu pejabat BNP2TKI PUSAT, Beliau adalah KPL DEPUTI BIDANG PENEMPATAN BNP2TKI, DRS. AGUSDIN SUBIANTORO. Alamat BNP2TKI Jalan MT Haryono Kav 52, Pancoran, Jakarta Selatan 12770.
Saya diberikan No Kontak Hp Beliau, dan saya mencoba menghubungi tepat jam 4 sore, singkat cerita saya'pun menyampaikan maksud tujuan saya, bahwa sudah lama saya mengimpikan bisa bekerja di japang. Beliaupun menyampaikan siap membantu dengan bisa meluluskan dengan beberapa prosedur , saya rasa prosedur itu tidak terlalu membebani saya. Dari sinilah saya menyetujui nya, yang sangat membuat Aku bersyukur adalah bahwa saya diminta melengkapi berkas untuk saya kirim ke kantor beliau dan sayapun disuruh menyiapkan biaya pengurusan murni sebesar Rp. 22.500.000. Inilah puncak kebahagiaan saya yang akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di negeri sakura japang.
Akhirnya saya mendapat panggilan untuk ke jakarta untuk dibinah selama 2 minggu lamanya, saya hanya diajarkan DASAR berbahasa japang. Makna yang terkandung di dalam'nya sangat luar biasa dirasakan oleh saya, tanggung jawab, disiplin, berani dan sebagainya merubah total karakter saya yang dulu cengeng dan kekanak-kanakan, walau kadangkala saya masih belum begitu yakin apakah dia bisa berangkat Ke Jepang dengan baik, akhirnya saya mendapat Contrak kerja selama 3 tahun lamanya di bidang industri.
Rasa pasrah dan khawatir menghinggapi saya saat itu, seorang anak kampung berangkat ke Jepang dengan menggunakan pesawat terbang yang sebelum belum pernah saya rasakan sebelumnya. Jangankan naik di atas pesawat melihat dari dekatpun saya belum pernah sama sekali.Di Bandara Soekarno Hatta kami di temani oleh petugas Depnakertrans dan IMM Japan untuk melepas keberangkatan saya, rasa haru dan air mata sedih berlinang di pipih saya pada saat saya di izinkan prtugas untuk pamit kepada keluarga yang kebetulan saya diantar oleh paman di jakarta, kami saling berpelukan dan mohon salam dan restu dari orang tua dan keluarga.
MASA MENGIKUTI PROGRAM KEBERANGKATAN DI JEPANG.
Setibanya di NARITA AIRPORT Jepang, saya dijemput oleh petugas IMM Japan yang ada di sana, dan dia diantar ke Training Centre Yatsuka Saitama-ken untuk mengikuti pembekalan sebelum di lepas ke perusahaan penerima magang di Jepang. jika anda ingin seperti saya anda bisa, Hubungi Bpk deputy Bidan pempatan BNP2TKI, DRS. AGUSDIN SUBIANTORO ini No Contak HP pribadi Beliau: 0823-5240-6469 siapa tahu beliau masih bisa membantu anda untuk mewujudkan impian anda menjadi sebuah kenyataan.