KSPI dan Prabowo, Pemilu Borjuis 2014 |
Setelah 1 tahun Mogok Nasional (MoNas) jilid II berlangsung, Mogok Nasional jilid III mulai dikumandangkan kembali oleh para petinggi konfederasi serikat buruh. Bedanya, jika dalam mogok nasional jilid II, KSPSI dan KSBSI tidak bergabung. Dan inisiator mogok nasional II tidak lagi menggunakan nama MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia) melainkan dengan nama KNGB (Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh). Dan, di KNGB, konsolidasi serikat buruh merah yang bernaung dalam nama Sekber Buruh turut bergabung pula.
Kedua konfederasi besar ini (KSPSI dan KSPI) pun berbeda pandangan dalam merespon momentum pemilu presiden kemarin, bahkan sebenarnya hingga saat ini. KSPSI yang dipimpin oleh Andi Gani Nuwawea, putra dari mantan MENAKER dan Politisi PDIP, Jakob Nuwawea, mendukung Pasangan Jokowi-JK. KSBSI juga turut mendukung Jokowi-JK pada Pilpres lalu. Sedangkan KSPI yang dipimpin oleh Said Iqbal, (Mantan) Deklarator PKS ini mendukung pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa.
Dalam sebuah diskusi mempersiapkan pembangunan “Rumah Rakyat” yang saya hadiri bersama Haris Azhar, Wilson, Arie Lamondjong, Surya Tjandra, Said Iqbal serta lainnya, bertempat di Kantor Kontras, pada Februari 2014 lalu, Said Ikbal menyatakan alasan dukungan KSPI-FSPMI kepada pasangan Prabowo-Hatta, antara lain:Pertama, Jokowi-JK tak mau menemuinya dan Jokowi, saat masih menjabat sebagai Gubernur, tidak menaikkan upah DKI Jakarta sesuai dengan tuntutan buruh setelah MoNas II. Kedua, sebagai latihan buruh go politic, dan sebelumnya latihan dilakukan dengan menjadi caleg-caleg dari seluruh partai-partai kontestan pemilu. Ketiga, dianggap tak ada hubungannya: demokrasi dan HAM terhadap persoalan kaum buruh. Keempat, KSPI dijanjikan empat jabatan apabila Prabowo-Hatta berkuasa: Menteri Tenaga Kerja, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Pendidikan dan Ketua BNP2TKI.
Namun, perbedaan politik diantara KSPSI, KSBSI, dan KSPI begitu mudah cair. Dan selanjutnya mereka bersatu kembali di bawah bendera MPBI setelah 1 tahun lebih MPBI tidak aktif, dan boleh dikata: bubar.
Rupanya, setelah UMP (upah minimum provinsi) dan UMK (upah minimum kota/kabupaten) ditetapkan, dan setelah kenaikan harga BBM diputuskan oleh Rejim Neoliberal Jokowi-JK, MPBI diaktifkan kembali dan merencanakan mogok nasional, setelah konfederasi besar di atas diundang oleh komisi IX yang dikuasai oleh Koalisi Merah Putih (KMP) untuk rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Budaya tanpa Prinsip
Ya, ini lah salah satu contoh kongkret dan aktual bagaimana politik tanpa prinsip terjadi. Bersatu dan berpisah tanpa prinsip! Kami menyatakan berpisah dan menolak kerjsama dengan KSPI dengan seluruh organisasi yang mendukung Prabowo dan KMP karena tak mungkin ada kesejahteraan tanpa ada demokrasi seluas-luasnya. Tak mungkin kapitalisme dan imperialisme di tumbangkan, apabila kekuatan Militerisme, Sisa Orde Baru dan elemen anti demokrasi lainnya memperbesar kekuatannya dan berkuasa.
“Lautan” Kebudayaan Politik Tanpa Prinsip di negeri ini terjadi sejak Soeharto dan Orde Baru berkuasa. Politik tak lagi untuk mempertarungkan gagasan. Sebaliknya, Politik tanpa gagasan untuk memupuk pundi-pundi kekayaan dengan sebesar-besarnya membuka pintu bagi: modal asing.
Budaya politik tanpa prinsip ini lah yang setiap kali kita lihat di televisi sejak Soeharto berkuasa hingga saat ini: Harmoko si Tangan Kanan Soeharto “menikam” Soeharto pada detik-detik akhir kekuasaanya; Gusdur digulingkan oleh sekutu-sekutunya (Amien Rais, Megawati, dsb) yang sebelumnya mengangkatnya ke Kursi Presiden. Megawati bersekutu dengan Sutiyoso—yang merupakan salah satu jendral yang berada dibelakang kasus Kuda Tuli (27 Juli 1996). Megawati bersama Prabowo yang notabene adalah mantan menantu Soeharto dan Orbais pada Pemilu 2009. PDIP menolak kenaikan harga BBM saat 10 tahun menjadi oposisi dan belum 100 hari Jokowi-JK berkuasa, pemerintahan Koalisi Indonesia Hebat yang dipimpin oleh PDIP tersebut menaikkan harga BBM.
Tak hanya dikalangan elit. Di kalangan masyarakat budaya politik tanpa prinsip begitu kuat mencengkeram. Misalnya saja, setiap kali pemilihan kepala desa, walikota, bupati, gubernur, legislatif atau presiden, bukan program dan sejarah kerja politik apa yang sudah diperbuat. Tapi, “berani bayar berapa?” dan “akan memberikan apa?” saat terpilih, sebagai dasar untuk memberikan dukungan.
Kiri Yang Tak Berprinsip
Anehnya, di kalangan pergerakan kiri yang dikenal sebagai kalangan yang terdidik, sadar dan militan pun budaya politik tanpa prinsip sering terjadi, antara lain: Mau bersatu hanya dengan yang BESAR (jumlah anggotanya). Tak peduli yang BESAR itu salah, dan sangat salah, misal saat serikat BESAR ini mendukung Calon Presiden Pelanggar HAM. Beberapa elemen kiri tak mengkritiknya, bahkan tetap bekerja sama dengan serikat pendukung Prabowo itu. Hanya dengan argumentasi, yang penting masuk dan berpropaganda, mereka (serikat pendukung Prabowo) itu akan berubah. Bagaimana mungkin mereka akan berubah, apabila tak mengkritik, apabila tak mendelegitimasi elit-elit serikat buruhnya yang tak meminta maaf bahkan hingga hari ini masih mendukung Prabowo dan Koalisinya? Omongkosong! Itu hanya isapan jempol belaka.
Kaum Kiri, menyandang predikat KIRI, karena anti terhadap penindasan. Anti terhadap Kapitalisme. Anti Militerisme. Dan segala elemen penindasan lainnya. Dan dengan begitu, kita sedang tidak menjadikan diri kita menjadi NAIF terhadap kejadian-kejadian, perkembangan sosial dan kekuatan-kekuatan politik yang bermain.
Justru aneh dan NAIF apabila kita tak melihat dan bersandar terhadap konteks politik kemarin, hari ini dan kemungkinan-kemungkinan kedepannya. Meskipun Pemilu Presiden memang sudah selesai, namun pertarungan diantara kubu Jokowi vs Prabowo, atau Koalisi Indonesia Hebat vs Koalisi Merah Putih belum selesai. Kedua kubu akan terus bertarung, berkompromi dan bertarung.
Lihat saja, di tengah gejolak perlawanan menolak/membatalkan kenaikan BBM dan gejolak perlawanan buruh menuntut upah naik 50 persen, hingga melakukan pemblokiran tol, Koalisi Merah Putih (KMP) menyerukan: turunkan Jokowi, ganti dengan Prabowo!
Atau sebelumnya, KMP memenangkan bidak-bidak politik mereka lewat UU Pilkada, UU MD3, bahkan kedepannya adalah UU Keamanan Nasional atau kembali ke Pemilihan Presiden lewat MPR yang membuat mereka lebih leluasa memperbesar kekuatan, bahkan sangat mungkin melakukan impeachment, dengan terlebih dahulu menunggangi gerakan.
Ada pula elemen kiri yang menyatakan bahwa Jokowi dan Prabowo sama berbahayanya, sama-sama neoliberalisme. Dan lebih tololnya lagi menyatakan bahwa jangan terjebak dengan “personifikasi” Prabowo sebagai simbol Orde Baru. Lanjutnya, bukankah di kubu Jokowi-JK ada elemen Orde Baru, seperti JK, Sutioso, Surya Paloh, dsb.
Atas pandangan bodoh dan tolol seperti di atas, jawabannya sederhana: apakah ketika Budiman Sudjatmiko, Dita Sari, Faisol Reza, Masinton Pasaribu, atau Adian Napitupulu mendukung Jokowi – JK lantas kubu tersebut menjadi revolusioner atau reformis? TIDAK! Atau ketika sebagian besar pengurus dan tak sedikit mantan PRD mendukung Kubu Prabowo-Hatta lantas kubu PRAHARA menjadi demokratis, revolusioner, kiri? Sekali lagi TIDAK!
Kita harus kembali bukan pada per Individunya, melainkan dari kekuatan-kekuatan politik kaum borjuasi yang bertarung ini membawa pandangan dan visi apa? Jelas sekali baik Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih pro pasar bebas, pro kapitalisme neoliberal. Namun, secara politik Prabowo dan KMP hendak membawa Indonesia ke “Jaman” Orde Baru: Presiden dipilih MPR, Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih oleh DPRD, stabilisasi politik lebih besar lagi, penggunaan tentara lebih intensif. Belum lagi, bagaimana kubu Prabowo menggunakan politik SARA untuk memecah belah rakyat dan membina organisasi-organisasi milisi sipil reaksioner.
Apabila Prabowo-KMP berkuasa maka: Demokrasi akan semakin menyempit, bahkan segala capaian 16 tahun ini akan berakhir sia-sia belaka.
Sama sekali tak mungkin Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera apabila tak ada Demokrasi. Tak ada kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Tak ada kebebasan berorganisasi dan berdemonstrasi.
Slogan “BURUH berkuasa! Rakyat Sejahtera!” hanya lah omong kosong belaka apabila tak ada demokrasi. Sebab, ruang demokrasi yang kita dapat hari ini, hasil jerih payah puluhan tahun aktivis pro demokrasi dibawah rejim militeristik Soeharto, membuat kaum buruh dan rakyat bebas melakukan: pendidikan politik, kursus jurnalistik, pelatihan advokasi, diskusi ekonomi-politi, kursus politik, menerbitkan Koran, membuat web/blog, mendirikan serikat, federasi bahkan konfederasi diluar konfederasi yang dianggap sah oleh pemerintah.
Dengan mempertahankan dan memperluas ruang demokrasi lah, maka syarat-syarat material buruh berkesadaran politik dan berkesadaran kelas (sadar siapa dirinya dan tugas sejarahnya) akan tercapai! Bukan dengan menganggap tak penting mengangkat isu demokrasi dan anti militerisme. Sebaliknya, sensitifitas kesadaran demokratik kaum buruh harus dimajukan di manapun penindasan itu terjadi, bahkan diluar kelas dirinya sekalipun, dan justru dengan demikian lah kepemimpinan dan kepeloporan kaum buruh sedang dibangun.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Sekali lagi, pertarungan kubu Jokowi dan Prabowo, belum selesai.
Ilusi Jokowi akan luntur lebih cepat karena konsistensi dia menjalankan seluruh kebijakan neoliberal—yang memiskinkan rakyat itu, seperti yang dianjurkan oleh Bank Dunia dan punggawa-punggawa ekonom kapitalis yang menyokongnya. Serta pengaruh delegitimasi KMP maupun gerakan rakyat yang mengikisnya.
Dan ketika Jokowi semakin tidak populer, Prabowo lah yang akan menjadi alternatif. Sejauh apabila Gerakan Rakyat tak juga mendelegitimasi Prabowo-KMP dan membangun Blok Politik Alternatif.
Kita bisa menyerukan: “Bukan Jokowi, Bukan Prabowo tapi Persatuan Rakyat sebagai alternatif!” Tapi tidak cukup! Tak mungkin membangun persatuan rakyat sebagai alternatif apabila ilusi Jokowi dan (terutama) Prabowo tidak dikikis hingga dihancurkan.
Dan, tak bisa mengikis ilusi (terutama) terhadap Prabowo di kepala serikat/organisasi pendukungnya dengan cara: “bersekutu dan mengelus-elus kepala mereka, sembari berbisik, ayo bangun partai alternatif.”
Politik Alternatif hanya bisa lahir melalui kontradiksi dan kritik yang keras terhadap kesalahan prinsipil seperti mendukung elit borjuasi, apalagi borjuis-militeristik seperti Prabowo.
Justru sangat mungkin, apa yang dilakukan oleh serikat dan organisasi-organisasi pendukung prabowo melakukan aksi massa dan tidak sedikit di antaranya berupaya untuk masuk ke dalam konsolidasi gerakan, dalam upaya menjalankan strategi bawah (politik) Prabowo-Koalisi Merah Putih. Sementara, Prabowo dan agen-agennya di Parlemen menjalankan Strategi Atas.
Tak Boleh Naif. Harus Cerdas. Seruan: “bergerak bersama” nampaknya, baik-baik saja. Namun riskan jika diaplikasikan tanpa melihat konteks politiknya. Tak mungkin kita bersekutu dengan dengan elemen-elemen yang akan menunggangi aksi-aksi politik kita demi populeritas Prabowo dan KMP. Tindakan semacam itu berarti memberikan kesempatan lebih besar bagi Prabowo berkuasa, dan setelah berkuasa: menindas buruh dan rakyat jauh lebih keji lagi.
Demarkasi! Ya, demarkasi, dengan kaki-tangan pendukung Prabowo dan Koalisi Merah Putih, yang harus dilakukan. Kita menyerang Jokowi dan Prabowi secara politik, tanpa memberikan kesempatan bagi Prabowo dan KMP untuk menunggangi atau memannfaatkan mobilisasi perlawanan rakyat.
Demarkasi ini bisa kita lakukan dengan terus menyatakan pada setiap momentum-momentum politik yang ada: Tidak Pada Prabowo dan Jokowi! Tangkap Adili dan Penjarakan Penjahat HAM! Lawan Militerisme! Tidak bersekutu dengan Serikat/Organisasi Pendukung Prabowo! Bangun Politik Alternatif!
Sekali lagi, ini lah prinsip politik persatuan yang akan terus kita jalankan: “Menyerang Bersama, Berbaris masing-masing”, “Kebebasan mengkritik dan Kesatuan tindakan!” “Kompromi dan Keluwesan yang tak menanggalkan Prinsip!”
Kita akan dukung Mogok Nasional, tapi tak bersatu dengan Serikat Pendukung Prabowo. Kita akan terlibat Front Persatuan manapun sejauh tak melibatkan serikat pendukung Prabowo. Dan jika ada upaya menggiring untuk bersatu dengan Serikat Pendukung Prabowo, kita akan mempertarungkannya secara gagasan, dan apabila prinsip politik kita tak diterima: Tak segan Berpisah!
Dan, seandainya pun dengan prinsip politik ini membuat kita akan sendiri dan tersisihkan, tak mengapa. Akan kita jalankan dengan keteguhan yang mendalam. Keteguhan pada Politik Berprinsip! Sekian
Ditulis oleh : Surya Anta - Juru Bicara Partai Pembebasan Rakyat
Telah diterbitkan di Koran Pembebasan dan solidaritas.net
0 komentar:
Post a Comment