KORANMIGRAN
- Perlakuan diskriminasi dan kekerasan yang terus dialami Buruh Migran
Indonesia
(BMI) menjadi thema diskusi DPC SBMI Kab. Cirebon . Hal itu diakibatkan
kekeliruan paradigma pemerintah yang terus melakukan pembiaran dengan
sikap pragmatisnya lewat program eksport "buruh murah" ke luar negeri
dengan dalih mengurangi
pengangguran.
Wakil Ketua Umum SBMI, Ramses D Aruan mengungkapkan, karena yang direkrut adalah pekerja dari desa maka ketika bekerja di luar negeri akan mengalami "shock Culture" dan kemudian menjadi sasaran kekerasan dari majikan yang menilai BMI adalah miliknya bahkan budaknya.
"Kita sudah mengevaluasi bahwa pendidikan yang diberikan di BLK yang diselenggarakan oleh swasta/PPTKILS sangat buruk dan sangat menyayangkan semua persiapan pra penempatan ini diserahkan pemerintah sepenuhnya ke swasta. Dari kasus-kasus yang kita advokasi jelas bahwa semua prosedure penempatan sangat buruk pelaksanaannya. Bahkan kemudian pemerintah abai dengan tanggung jawabnya untuk mengevaluasi pendidikan untuk BMI. Peranya pemerintah baik di pusat maupun daerah kok cuma sosialisasi doang," kata Ramses menilai.
Sampai saat ini, lanjut Ramses, BMI masih terus diposisikan sebagai komoditas, sehingga kalaupun ada pelatihan atau training hanya akan dilaksankan sekedarnya. Anehnya bahkan organisasi buruh migran tidak pernah dilibatkan atau difasilitasi kegiatan organisasinya. Belum lagi kalau kita menilai proses perekrutan banyak sekali melanggar aturan resmi dan kalaupun ada yang diberi "kartu merah" atau ditutup oleh pemerintah lantas dengan mudahnya perusahaan swasta itu akan mendirikan PPTKIS baru," paparnya.
Wakil Ketua Umum SBMI, Ramses D Aruan mengungkapkan, karena yang direkrut adalah pekerja dari desa maka ketika bekerja di luar negeri akan mengalami "shock Culture" dan kemudian menjadi sasaran kekerasan dari majikan yang menilai BMI adalah miliknya bahkan budaknya.
"Kita sudah mengevaluasi bahwa pendidikan yang diberikan di BLK yang diselenggarakan oleh swasta/PPTKILS sangat buruk dan sangat menyayangkan semua persiapan pra penempatan ini diserahkan pemerintah sepenuhnya ke swasta. Dari kasus-kasus yang kita advokasi jelas bahwa semua prosedure penempatan sangat buruk pelaksanaannya. Bahkan kemudian pemerintah abai dengan tanggung jawabnya untuk mengevaluasi pendidikan untuk BMI. Peranya pemerintah baik di pusat maupun daerah kok cuma sosialisasi doang," kata Ramses menilai.
Sampai saat ini, lanjut Ramses, BMI masih terus diposisikan sebagai komoditas, sehingga kalaupun ada pelatihan atau training hanya akan dilaksankan sekedarnya. Anehnya bahkan organisasi buruh migran tidak pernah dilibatkan atau difasilitasi kegiatan organisasinya. Belum lagi kalau kita menilai proses perekrutan banyak sekali melanggar aturan resmi dan kalaupun ada yang diberi "kartu merah" atau ditutup oleh pemerintah lantas dengan mudahnya perusahaan swasta itu akan mendirikan PPTKIS baru," paparnya.
0 komentar:
Post a Comment