KORANMIGRAN - Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia Aloysius
Uwiyono mengkritik UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN). Soalnya undang-undang
ini terkesan lebih banyak membebankan porsi perlindungan BMI kepada
pihak swasta ketimbang pemerintah.
Tanya:
TKI atau BMI Mandiri ada dalam Undang-Undang tapi kenapa perjanjian
Kerja atau Kontrak Kerjanya masih sangat bergantung dengan PJTKI?
KORANMIGRAN menjawab:
Besarnya
kewenangan PJTKI dalam menempatkan BMI di negara tujuan adalah
permasalahan utama dalam perlindungan karena pihak swasta telah gagal.
Para BMI yang bekerja dengan majikan tanpa melalui perjanjian dengan
PJTKI dikategorikan sebagai BMI yang tidak terdokumentasi karena tak
tercatat di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI).
UU
PPTKLN, hanya memberi perlindungan kepada BMI yang kembali ke Indonesia
setelah kontraknya selesai. Perlindungan kembali diberikan bila BMI
ingin bekerja lagi setelah mendapat dokumen lengkap lagi atau ada izin
resmi yang diterbitkan untuk BMI.
Berbelitnya
proses perizinan itu dinilai merugikan para BMI. Oleh karenanya kami
berharap UU PPTKLN direvisi dengan memasukkan ketentuan yang
memungkinkan BMI membuat kontrak kerja secara mandiri dengan pemberi
kerja bila masa kontrak sebelumnya sudah berakhir.
Kontrak
kerja mandiri itu lebih menguntungkan BMI karena BMI dapat terus
bekerja setelah kontrak kerjanya selesai dengan cara mencari pemberi
kerja baru. Namun, dalam UU PPTKLN, BMI harus kembali ke Indonesia dan
mengurus dokumen lengkap sebelum bekerja lagi dan harus melewati
PJTKI/PPTKIS.
Dalam
UU PPTKLN kami menilai langkah itu juga wajib dilakukan oleh semua BMI
yang ingin bekerja lewat kontrak kerja mandiri. Persyaratan itu jelas
memberatkan BMI. Sehingga BMI yang tak melewati proses itu ketika
menandatangani kontrak kerja mandiri dengan majikan harus menanggung
beban BMI Tak Berdomumen karena tidak tercatat di Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Para
aktifis BMI diingatkan, dari tiga tahapan pengelolaan BMI, hukum yang
berlaku berbeda-beda. Pertama, perekrutan, peraturan yang digunakan
adalah yang berlaku di Indonesia. Seperti, masa pendidikan dan
pelatihan. Kedua, penempatan, hukum yang berlaku, khususnya BMI dengan
kontrak mandiri adalah peraturan yang berlaku di negara tujuan BMI.
Misalnya,
terkait kontrak kerja antara BMI dan pemberi kerja. Untuk menjamin
perlindungan bagi BMI, PJTKI harus menempatkan kantor perwakilan di
negara tujuan penempatan. Namun, ada produk hukum lain yang dapat
berfungsi memaksimalkan perlindungan BMI di masa penempatan. Seperti,
MoU antara pemerintah Indonesia dengan negara tujuan BMI. Ketiga, purna
penempatan, hukum yang digunakan mengacu peraturan yang berlaku di
Indonesia.
UU
PPTKLN tak memberi perlindungan yang maksimal terhadap BMI dan anggota
keluarganya. Pasalnya, terdapat sejumlah pasal yang dinilai merugikan
BMI. Misalnya, dalam pasal 60 UU PPTKLN, BMI yang memperpanjang kontrak
kerja mandiri maka PJTKI tak bertanggung jawab atas perlindungan BMI
yang bersangkutan. Lalu siapa yang melindungi BMI?
Tumpang
tindih peraturan peraturan yang ada terkait BMI. Misalnya, dalam UU
PPTKLN, BMI dibolehkan untuk melakukan kontrak kerja mandiri. Namun,
Peraturan Kepala BNP2TKI No:PER.04/KA/V/2011, melarang BMI yang bekerja
di bidang rumah tangga (domestik) melakukan kontrak kerja mandiri. Harus
ada regulasi yang jelas dan dipatuhi bersama terkait mekanisme kontrak
kerja mandiri. Dengan begitu diharapkan perlindungan terhadap BMI pun
semakin terjamin.
Terkait
asuransi BMI, mengacu UU PPTKLN, semua BMI wajib menjadi peserta
asuransi. Namun, heran kenapa pihak swasta yang ditugaskan untuk
menyelenggarakan asuransi itu. Menurutnya, penyelenggara asuransi untuk
BMI itu harus dipegang oleh lembaga pemerintah yang khusus menangani
asuransi. Lagi-lagi kami menilai hal itu dapat memaksimalkan
perlindungan terhadap BMI yang hingga saat ini terus diabaikan.
Jadi
asuransi untuk BMI yang ada saat ini jelas sangat merugikan BMI.
Pasalnya, ketika BMI melakukan klaim asuransi, ada proses berbelit yang
wajib dipenuhi BMI. Padahal, kondisi BMI tergolong sulit untuk memenuhi
persyarataan yang dimaksud. Misalnya, BMI harus kembali ke Indonesia
untuk mengajukan klaim.
Selain
itu ketika BMI sudah kembali ke daerahnya, dia harus mengurus klaim ke
Jakarta. Bahkan pengelolaan uang BMI oleh asuransi kami nilai tidak
jelas. Karena, BMI yang bekerja di suatu negara, kemudian BMI di pindah
ke negara lain tanpa keinginannya, maka hak BMI atas asuransi hangus.
Padahal, dalam peraturan yang ada menyebut BMI berhak atas upah selama
beberapa bulan. Klaim asuransi cenderung susah.
TKI
wajib menyertakan dokumen pendukung yang diperlukan. Misalnya, ketika
BMI di-PHK sepihak oleh pemberi kerja. Untuk mendapatkan klaim, BMI
bersangkutan harus membawa dokumen lengkap sebagai bukti yang memperkuat
bahwa dia di-PHK. Seperti surat keterangan dari perwakilan duta besar
RI di negara tempat BMI bekerja.
Berbagai
persyaratan yang cendrung susah dipenuhi inilah yang mempersulit BMI
dan anggota keluarganya susah untuk mencairkan klaim. Aturan itu tidak
ditujukan untuk mempersulit BMI mengajukan klaim, apalagi perusahaan
asuransi mengharuskan secara detail apa penyebab terjadinya kasus itu.
Jika memenuhi peraturan yang ada, maka klaim itu pun akan dicairkan.
Keluhan yang didapat SBMI terhadap asuransi karena klaim tak kunjung
cair adalah kegagalan sistem asuransi itu sendiri.
Belum
lagi ketentuan terkait asuransi BMI yang dirasa memberatkan bagi TKI
yang gagal berangkat. Walau Peraturan jelas-jelas menjadikan pra
pemberangkatan menjadi bagian dari tanggungan perusahaan asuransi untuk
membayar kerugian BMI. Masalahnya PJTKI sering tidak mengasuransikan BMI
saat mulai keluar dari rumah dan tinggal selama di penampungan PJTKI.
Semoga membantu.
0 komentar:
Post a Comment