Ilustrasi aksi Gerakan Buruh Indonesia. Photo: Istimewa. |
KORANMIGRAN, JAKARTA - Kunjungan
saya ke Indonesia ini tidak semata-mata untuk liburan sahaja. Ia tidak terlepas
daripada membincangkan persoalan politik, ekonomi dan sosial negara ini.
Seseorang yang berlibur seharusnya tidak sekedar berlibur cuma, tetapi dia
harus melihat dan menganalisa realitas kehidupan dan ekonomi negara yang
dikunjunginya. Justru nanti dia boleh berbagi pengalamannya ke negara asalnya
dan membentuk pemahaman yang lebih luas tentang kondisi global yang terjadi
hari ini.
Oleh itu, kesempatan menghadiri demo Hari Buruh Migran Internasional yang
digelar oleh kawan-kawan Serikat Buruh Migran Indonesia adalah kesempatan yang
sangat berharga. Apalagi sebelum ini saya juga pernah ke Indonesia tahun lalu
tetapi hanya mengikuti demo menolak kenaikan harga BBM. Keduanya sudah tentu
pengalaman yang sangat berbeda namun masih penting untuk memahami gerakan buruh
di sini dengan menyeluruh.
Malah, orang yang berlibur itu juga bergerak dari
negara lain ke negara lain, sama seperti buruh migran. Namun, pokoknya adalah
orang yang berlibur itu cuma turis tetapi buruh migran adalah buruh yang
terpaksa bermigrasi untuk mencari rezeki.
Saya
juga ialah anggota dalam sebuah organisasi politik dari Malaysia, ‘Sosialis
Alternatif Malaysia’ yaitu sebahagian daripada pertubuhan sosialis dan kelas
pekerja internasional (Committee for a Workers’ International) yang bergerak di
lebih 50 negara. Sosialis Alternatif berkampanye untuk melawan penindasan
kapitalisme dan membina masyarakat yang berlandaskan demokratik sosialisme di
Malaysia dan sedunia.
Salah satu materi penting kami adalah koran ‘Solidariti
Pekerja’ yang membawa ide-ide tentang hak-hak buruh, kepentingan mengorganisir
dan berserikat, kejahatan kapitalisme dan lainnya. Latar dan pendirian ini
sudah tentu menarik perhatian saya untuk ikut serta dalam demo Hari Buruh
Migran Internasional oleh Serikat Buruh Migran Indonesia. Pada tanggal 18
Desember 2015, demo ini telah digelar di tiga titik, yaitu BNP2TKI, KEDUBES
Arab Saudi, dan Kemenaker.
Meskipun
jumlah peserta demo ini tidak banyak, yaitu dalam sekitar 40 orang sahaja,
tetapi saya begitu salut dengan keberanian mereka yang mahu menuntut hak-hak
buruh migran. Mereka datang bukan semata-mata untuk diri mereka, tetapi juga
untuk kawan-kawan buruh migran yang lain, untuk keluarga, untuk masyarakat,
untuk generasi seterusnya, untuk sesiapa sahaja sekalipun. Mereka berdemo bukan
kerana narsis.
Para aparat pemerintah, autoriti, pegawai dan lainnya harus
mendengar tuntutan buruh migran. Jika ia berhasil, ia dapat memanfaatkan semua
orang, termasuk saudara-saudara para pemerintah, autoriti, pegawai dan lainnya.
Sudah pasti dalam sesebuah famili akan ada orang yang bekerja sebagai buruh migran
di mana-mana tempat. Karena harus menyara keluarga (tulang punggung ekonomi )
dan karena tidak ada pilihan yang lebih baik, buruh migran terpaksa bermigrasi.
Walau
bagaimanapun, ketika saat berada di tempat orang, buruh migran telah mengalami
berbagai macam permasalahan seperti penyiksaan, perdagangan orang, perlecehan seksual,
hukuman mati, kekerasan dan sebagainya. Mereka tidak diberikan keadilan. Sudah
banyak kasus kasus kezaliman terhadap buruh migran telah membuktikan dan
sebagai cerminan daripada kegagalan pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang
bagus untuk rakyatnya.
Buruh migran Indonesia juga tidak lepas daripada
ketidakadilan itu. Inilah watak sistem kapitalisme yang amat eksploitatif.
Negara yang menganut kapitalisme seperti Indonesia lebih suka memprioritaskan
kapital dan keuntungan berbanding mencari jalan untuk mensejahterahkan
rakyatnya. Inilah yang dituntut oleh kawan-kawan yang berdemo untuk Hari Buruh
Migran Internasional, yaitu menghapus praktek diskriminatif dan memberikan
layanan yang adil untuk buruh migran. Meski datang dalam jumlah yang sedikit,
tetapi kesadaran dan kesatuan para pendemo ini jelas menjadi representasi
terhadap peribahasa ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’.
Namun,
ketika saya dalam demo ini, saya mencari-cari sekelompok lagi buruh. Mereka ini
juga sama seperti buruh migran, yang tidak punya apa-apa melainkan tenaga kerja
dan titik peluh mereka. Mereka harus bekerja dengan majikan dan pemodal yang
sudah tentu pastinya hanya memikirkan untuk mengaut seberapa banyak untung.
Ada
yang harus berhadapan dengan permasalahan upah minima, kondisi kerja yang tidak
sehat, perbudakan zaman moden dan banyak lagi, sama seperti yang dialami buruh
migran. Sama sama ditindas, maka seharusnya sama sama berkawan melawan
kapitalisme. Ketika Hari Buruh (May Day) pada setiap tanggal 1 Mei, buruh
migran akan bersama-sama meyertai demo dengan sekelompok buruh ini, begitu juga
dengan aksi aksi lain yang menyentuh tentang kehidupan yang lebih baik. Tetapi
pada Hari Buruh Migran Internasional, saya sepertinya tidak melihat kelibat
sekelompok buruh ini. Ya, Quo vadis buruh industri Indonesia?
‘Kaum
buruh sedunia, bersatulah!” –Karl Marx. Tidak kira kalian buruh migran atau
buruh industri, ayo bersatu melawan kejahatan kapitalisme dan rezim pemerintah!
Penulis:
Sharifah Nursyahidah, anggota Sosialis Alternatif Malaysia. Tulisan ini adalah
opini penulis semata-mata.
0 komentar:
Post a Comment