Aksi SBMI dan PPRI memperingati Internasional Migran Day. Photo: Indah |
KORANMIGRAN, JAKARTA - Negara yang berdaulat adalah
Negara yang menghormati dan dihormati martabat dan kemanusiannya oleh bangsa
sendiri maupun bangsa lain. Tidak ada satu bangsapun yang berhak merendahkan
dan melecehkan martabat kemanusiaan yang diakui dan dilindungi dalam norma
hukum nasional maupun internasional. Hak untuk hidup, hak untuk bekerja secara
layak, baik di dalam maupun di luar negeri adalah bagian dari hak asasi yang
dimiliki oleh setiap warga negara.
Pada tanggal 12 April 2012 Pemerintah Indonesia akhirnya meratifikasi
konvensi PBB yang telah dibuat tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran
dan anggota keluarganya setelah mendapat desakan dari para buruh migran,
serikat dan organisasi yang peduli terhadap kasus-kasus yang terjadi pada buruh
migran Indonesia (BMI), para buruh migran Indonesia (BMI) berharap dengan
diratifikasikannya konvensi ini maka kebijakan pemerintah yang ada benar-benar
diimplementasikan dan dilaksanakan agar memberikan perlindungan kepada BMI.
Namun pada kenyataannya, sudah tiga setengah tahun konvensi ini di-rativikasi,
upaya perlindungan bagi BMI belum juga menunjukkan hasil yang signifikan.
Arus migrasi tenaga kerja
indonesia ke luar negeri semakin hari semakin membesar jumlahnya. Hal ini
disebabkan karena problem ketenagakerjaan di dalam negeri yang belum
terpecahkan. Krisis yang tidak kunjung selesai hingga saat ini juga mendorong
percepatan terjadinya migrasi. Diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia yang
berada di luar negeri sebesar 7juta orang. Sebagian besar diantara mereka
adalah perempuan (sekitar 70 %) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT)
dan manufaktur. Dari sisi usia, sebagian besar mereka berada pada usia
produktif (diatas 18 tahun sampai 35 tahun), namun ditengarai banyak juga
diantara mereka yang sebenarnya berada pada usia anak-anak. Kenyataan ini
terjadi karena mereka banyak yang dipalsukan identitas dokumen perjalanannya.
Selebihnya, sekitar 30 % adalah laki-laki, bekerja sebagai buruh perkebunan,
konstruksi, transportasi dan jasa.
Kebijakan moratorium nyatanya
sama sekali belum atau malah menghindar dari kewajiban pemerintah menangani
secara langsung akar masalah pelanggaran hak buruh migran, yaitu masalah
perekrutan non-prosedural yang terus merajalela. Justru sebaliknya, data
Kementrian Luar Negeri menunjukkan dari tahun 2011 hingga oktober 2015, telah
terjadi kenaikan kasus perdagangan manusia, deportasi dan kasus ABK (Prosedural
maupun non-prosedural). Dalam tiga tahun terakhir rata-rata kenaikan kasus
sebanyak 52,5%. Data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga mencatat
dari 321 kasus yang ditangani, rata-rata BMI mengalami lebih dari satu
pelanggaran kasus. Sementara itu, pengalaman solidaritas Perempuan dalam
melakukan pengorganisasian dan penanganan kasus kekerasan terhadap buruh migran
juga menunjukkan kerentanan perempuan buruh migran terhadap trafficking.
Indikasi trafficking terlihat jelas dari proses perekrutan dan penempatan baik
melalui maupun tidak melalu PPTKIS berupa pemalsuan dokumen, penggunaan bisa
turis (bukan visa kerja) dan modus berpindah-pindah majikan.
Langkah ratifikasi, seharusnya
langsung diikuti dengan kebijakan di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini
juga jelas tercantum didalam misi Jokowi-Jk ketika kampanye. Namun hingga 3
tahun konvensi ini dirativikasi, belum juga terlihat langkah-langkah signifikan
dari pemerintah terkait kebijakan maupun langkah implementasi lainnya. Proses
revisi UU No. 39 tahun 2004 belum menghasilkan perubahan yang signifikan dan
mencakup perlindungan komprehensif bagi Buruh Migran sebagaimana yang diatur
didalama Konvensi Migran 90.
Sementara, program-program
pemerintah terkait buruh migran terkesan sebagai program yang parsial dan bukan
solusi dari akar permasalahan yang terjadi. Bahkan, beberapa kebijakan yang
dikeluarkan seperti Roadmap Zero Domestic Workers dan Moratorium cenderung
diskriminatif terhadap buruh migran, terutama kelompok yang paling rentan yaitu
perempuan buruh migran yang berkerja sebagai pekerja rumah tangga, seperti
pengurus rumah tangga, penjaga bayi, tukang masak, pengurus lansia, supir
keluarga, tukang kebun dan pengurus anak.
Dari jumlah BMI yang mayoritas
adalah pekerja rumah tangga seharusnya pemerintah membuat peraturan perundangan
untuk melindungi pekerja rumah tangga migran dan domestic. Pemerintah harus
segera meratifikasi konvensi ILO 189 tentang kerja rumah tangga layak dan segera mengimplementasikan kedalam UU
Perlindungan bagi Buruh Migran dan keluarganya.
Upaya pemerintah untuk mendorong
kebijakan di tingkat regional (ASEAN)
terkait perlindungan Buruh Migran pun belum menghasilkan UU perkerja rumah
tangga. Pembahasan Asean Framework Instrumen for The Protection and Promotion
of the rights of migrant workers yang dilakukan sejak lahirnya deklarasi Cebu
pada 2007 masih mengalami kebuntuan
(dead lock) hingga saat ini.
Indonesia yang mengadopsi
Sustainable Development Goals ( SDGs) yang mengakui kontribusi buruh migran
dalam gerak ekonomi dunia. Dalam beberapa tujuan dan target di SDGs, juga
diupayakan buruh migran harus bekerja dalam situasi kerja layak, tidak didiskriminasi,
bebas dari perbudakan dan dilindungi hak asasinya. Visi Misi NAWACITA yaitu 9
Agenda Prioritas Pemerintahan Jokowi-JK untuk menghadirkan Negara dalam
perlindungan buruh migran juga telah dielaborasi dalam RPJMN 2015-2019.
Komitmen global dan nasional tersebut seharusnya tidak hanya menjadi dokumen
diatas kertas, tetapi harus juga menjadi panduan kebijakan.
Kebijakan mengenai buruh migran
juga harus berbasis dengan realitas kerentanan yang dialami buruh migran
seperti kekerasan berbasis gender, praktik migrasi berbiaya tinggi yang
berpotensi terjadinya pidana perdagangan manusia, kasus-kasus hukuman mati dan
situasi kerja yang tidak layak. Buruh migran juga harus didengar, dilibatkan
secara aktif dalam setiap perumusan kebijakan mengenai buruh migran. Kekerasan
terhadap buruh migran perempuan harus dicegah, tidak hanya direspon. Pencegahan
tersebut dilakukan dengan membangun system pendidikan pra migrasi yang berbasis
gender dan HAM.
Oleh karena itu, pada rangkaian
peringatan hari Buruh Internasional yang dilakukan pada tanggal 18 Desember
2015 yang lalu, dimanfaatkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melayangkan
sejumlah tuntutan mendesak kepada pemerintah dengan menggelar aksi yang
melibatkan beberapa organisasi yang tergabung dalam aliansi Pusat Perjuangan
Rakyat Indonesia (PPRI), dengan berbagai tuntutan, seperti :
1. Cabut
UU No. 39/2014, buat dan sah-kan UU Perlindungan Buruh Migran yang Pro Buruh
Migran2. Hapuskan biaya penempatan BMI ( Stop Overcharging)
3. Kesetaraan standarisasi Upah Layak bagi BMI di semua Negara Penempatan
4. Tolak PP 78/2015 dan naikkan Upah Buruh Minimal 50%
5. Berlakukan 7 jam kerja dan 1 jam istirahat
6. Bebaskan BMI untuk Proses Kontrak Mandiri
7. Hentikan Sistem Booking Pembuatan/Perpanjangan Paspor
8. Cabut sistem Online Penempatan BMI
9. Cabut KTKLN
10. Cabut penutupan penempatan BMI ke Timur Tengah, berikan kepastian perlindungan BMI
11. Kepastian kontrak kerja BMI, minimal 3 tahun
12. Perlindungan BMI dari PHK sepihak dan permudah kontrak baru
13. Jaminan sosial bagi BMI dan keluarganya sebagai tanggung jawab Negara
14. Tolak sistem KUR dan kebijakan wajib transfer gaji BMI
15. Hapus pelarangan pindah agen
16. Tingkatkan dan prioritaskan pelayanan KBRI/KJRI di Negara penempatan
17. Hapuskan sistem perbudakan modern
18. Selamatkan BMI dari ancaman hukuman mati
19. Bubarkan BNP2TKI dan hapuskan perlibatan swasta (PPTKIS dan Perusahaan Asuransi) dalam proses penempatan BMI
20. Ratifikasi konvensi no. 189 tentang kerja layak PRT
Ditulis oleh: Amelia Manurung.
Aktif berorganisasi di Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)
0 komentar:
Post a Comment